Meskipun Kementerian Perindustrian menargetkan untuk meningkatkan penjualan kendaraan listrik (EV) tahunan menjadi 400.000 unit (mobil penumpang) dan 1.760.000 unit (sepeda motor) pada tahun 2025, tingkat adopsi EV saat ini masih sangat rendah. Hal ini disampaikan oleh Idoan Marciano, salah satu penulis Indonesia Energy Transition Outlook 2021.
Pada tahun 2020, penjualan mobil listrik di Indonesia hanya mencapai 0,15% (229 unit) dari target penjualan/produksi 150.000 unit. Sedangkan untuk kendaraan roda dua/motor listrik, hanya mencapai 0,26% (1.947 unit) dari target penjualan/produksi 750.000 unit. Melihat tren ini, “Akan sangat menantang untuk mencapai target (Kementerian Perindustrian),” kata Idoan.
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di balik rendahnya kinerja penjualan mobil listrik. Pada tahun 2020, pemerintah sudah menerbitkan peraturan turunan dari Perpres 55/2019 baik di tingkat nasional maupun kota untuk memberikan insentif fiskal dan dukungan untuk pembebanan pembangunan infrastruktur.
Laporan IESR menyatakan, insentif fiskal maupun non-fiskal seperti pembebasan PPN, pajak penghasilan, dan bea masuk atau subsidi akan menjadi sangat penting untuk meningkatkan permintaan EV. Juga subsidi langsung untuk pengembangan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) dan stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU) untuk memperluas jaringan infrastruktur pengisian daya di dalam negeri.
Hingga saat ini, jumlah SPKLU dan SPBKLU masih sangat terbatas dan jauh dari target. Pemerintah saat ini masih menetapkan rasio target SPKLU 1:70 (artinya 1 fasilitas pengisian daya untuk melayani 70 kendaraan listrik/EV) yang jauh lebih tinggi dibanding rekomendasi IEA yang 1:10.
“Pemerintah harus menargetkan rasio yang lebih rendah dari 1:25, meniru apa yang telah diterapkan di negara-negara dengan penetrasi EV tinggi seperti China, Amerika Serikat, dan Norwegia”, kata Idoan.
Idoan juga menyoroti pengembangan rantai pasokan lokal yang diperlukan untuk memastikan pengembangan EV yang mandiri. “Produksi baterai lithium-ion – komponen utama EV- secara lokal akan sangat penting untuk membantu menurunkan biaya produksi EV di Indonesia,” tuturnya.
Laporan IESR menyatakan, Indonesia telah membangun beberapa fasilitas produksi untuk ekstraksi bahan baku dan pemurnian prekursor baterai lithium-ion. Fasilitas ini dijadwalkan mulai beroperasi dalam 1-3 tahun ke depan. Namun, pengembangan sel dan kemasan baterai, oleh perusahaan lokal (termasuk oleh MIND ID, PT. Aneka Tambang, PLN, dan Pertamina) sangat lamban dan masih dalam tahap perencanaan.
IESR justru mengapresiasi inisiatif pemerintah membangun fasilitas daur ulang baterai, terlepas dari masalah kekurangan baterai bekas. “Fasilitas ini diharapkan dapat membantu produksi EV yang hemat biaya sambil memitigasi dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh pengembangan EV,” tutur Idoan.
Produksi EV lokal, menurut IESR sangat penting, mengingat saat ini semua mobil listrik di pasar Indonesia diimpor. Saat ini sudah ada satu perusahaan bus elektrik yaitu dengan kapasitas produksi 1.200 unit, namun produksi mobil listrik belum dimulai.
Sementara itu, untuk kendaraan roda dua/motor listrik, setidaknya ada 15 perusahaan yaitu Viar, Gesit, Selis, MIGO, United, Tomara, ECGO, Volta, Unifly, Electro, Sunrace, Artas, Gelis, Benelli, Keeway dan Kymco dengan total kapasitas produksi 877.000 unit/tahun. Namun, laporan IESR menyatakan, permintaan sepeda motor listrik saat ini masih terlalu rendah untuk memenuhi pasokan.
IESR menggarisbawahi pentingnya meningkatkan kesadaran publik tentang EV, keuntungannya, insentif yang tersedia, dan informasi berguna lainnya seperti lokasi pengisian untuk membantu meningkatkan permintaan akan teknologi baru tersebut.
“Proyek demonstrasi dan promosi perlu ditingkatkan melalui kerja sama dan kemitraan antara pemerintah, pembuat mobil, perusahaan transportasi, dan pengembang infrastruktur pengisian,” ujar Idoan. IESR mengusulkan tiga rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti pemerintah untuk mempercepat adposi kendaraan listrik ke depannya.
Pertama, pemerintah perlu memprioritaskan pengembangan kendaraan roda dua/motor listrik karena adopsi motor listrik relatif lebih mudah yaitu menyesuaikan dengan harga kendaraan roda dua konvensional. Pemerintah bisa memberikan insentif fiskal tambahan atau subsidi langsung kepada konsumen, dan insentif operasional lainnya untuk membantu menurunkan total biaya kepemilikan motor listrik.
Kedua, pemerintah harus mulai membatasi penggunaan mobil dan sepeda motor konvensional di kota-kota besar untuk meningkatkan adopsi kendaraan listrik/EV secara signifikan di Indonesia.
Dan yang terakhir, melihat meningkatnya minat dari investor internasional, pemerintah perlu memastikan transfer teknologi berlangsung melalui kolaborasi yang erat dengan produsen mobil asing. “Pada saat yang sama, pemerintah harus memfasilitasi kerja sama antara produsen kendaraan listrik/EV dalam negeri dan lembaga penelitian dan pengembangan untuk komersialisasi kendaraan listrik buatan lokal,” tutup Idoan.
Redaksi Hijauku.com