Sebanyak 91% masyarakat Indonesia berusia antara 18-24 tahun tidak mengetahui kaitan antara sistem produksi dan konsumsi makanan dengan keberlangsungan bumi.
Jakarta, 16 Oktober 2018 – Sebanyak 91% masyarakat Indonesia tidak memahami bahwa cara manusia memproduksi, mengonsumsi dan kebiasan mereka membuang makanan adalah ancaman terbesar bagi planet bumi. Hal ini terungkap dari hasil survei terbaru WWF yang dirilis bersamaan dengan peringatan Hari Pangan Sedunia hari ini.
Produksi pangan menghabiskan sumber daya alam paling besar sekaligus menghasilkan emisi gas rumah kaca paling besar. Produksi pangan menggunakan 34% lahan dan 69% air tawar, menjadi penyebab utama deforestasi dan hilangnya habitat lainnya, namun sepertiga dari semua makanan yang dihasilkan tidak pernah dikonsumsi. Sistem pangan bertanggung jawab terhadap sekitar seperempat emisi gas rumah kaca dunia, sepertiganya berasal dari makanan yang terbuang.
Survei WWF juga menemukan tren yang mengkhawatirkan di kalangan anak muda Indonesia. Sebanyak 11% remaja berusia 18-24 tahun menganggap sistem pangan tidak menimbulkan ancaman apa pun terhadap alam. Sementara 41% masyarakat usia antara 18-54 tahun menganggap ancamannya kurang signifikan. Hanya masyarakat berusia di atas 55 tahun yang memiliki kesadaran lebih besar terhadap masalah ini yaitu sebesar 64%.
“Kabar baiknya kita dapat membuat sistem pangan bermanfaat untuk manusia dan alam. Syaratnya, makanan harus diproduksi secara lebih berkelanjutan, didistribusikan secara adil, dan dikonsumsi secara lebih bertanggung jawab. Kita bisa memberi makan semua orang tanpa merusak lebih banyak wilayah hutan, sungai, dan lautan. Kita perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dari mana makanan berasal, dan mengubah perilaku kita guna memastikan terwujudnya sistem pangan yang baik,” kata Elis Nurhayati, Direktur Komunikasi WWF-Indonesia, seraya mengutip survei ini.
Survei WWF yang dilakukan oleh YouGov ini melibatkan 11.000 orang di Indonesia, Australia, Brasil, Kolombia, India, Malaysia, Belanda, Afrika Selatan, Inggris dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut teridentifikasi menghadapi risiko keamanan pangan terbesar akibat kerusakan alam, pada saat yang sama terus memicu kerusakan lingkungan melalui pola produksi, konsumsi dan kebiasaan mereka membuang-buang makanan.
“Pekan lalu, laporan PBB menyoroti ancaman perubahan iklim terhadap sistem pangan, Kita harus bertindak cepat karena waktunya sangat mendesak. Meskipun banyak pekerjaan besar yang telah dilakukan guna memperbaiki sistem pangan, kita harus bekerja lintas sektor dengan skala yang lebih besar dan tingkat urgensi yang lebih tinggi lagi,” lanjut Elis.
Banyak responden mengakui sistem pangan berdampak terhadap alam melalui berbagai cara. Hasil survei menunjukkan, 80% responden merasa bahwa kita bisa berbuat lebih untuk menanggulangi masalah ini. Sebanyak 66% responden secara khusus ingin pemerintah mengambil tindakan lebih serius dan 60% menginginkan sektor bisnis meningkatkan peran serta mereka.
WWF melalui Evolusi Pangan 2.0, memiliki hampir 100 program terkait pangan di seluruh dunia. Bermitra dengan pemerintah, produsen makanan, pebisnis, masyarakat dan organisasi non-pemerintah lain, WWF akan segera memperkenalkan program-program globalnya dalam beberapa bulan mendatang.
WWF mengambil pendekatan menyeluruh untuk melakukan transformasi pangan, dengan fokus pada tiga bidang utama yaitu: Produksi Berkelanjutan, Pola Makan Berkelanjutan, serta Mencegah Makanan Hilang dan Terbuang (Sustainable Production, Sustainable Diets and Food Loss & Waste).
“Saya yakin, melalui Pangan 2.0, kita mampu membawa pangan menjadi agenda konservasi yang membantu melindungi keamanan pangan kita semua,” tutup Elis.
–##–
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi:
➢ Elis Nurhayati | Direktur Komunikasi, WWF-Indonesia | Email: enurhayati@wwf.id
| +62 811 1310 1995